Dear Nona... Selamat malam, Semenjak matahari tergelincir tujuh jam yg lalu, aku kembali teringat surat terakhir yg kau tuliskan setahun yg lalu. Surat itu masih tersimpan rapi di dalam laci sebelah kanan tempat tidurku. Surat itu benar-benar menjadi yg terakhir untukku. Yang terakhir. Nona, sebelum kau pergi dengan mengingkari perjanjian kita. Senarnya ada yg ingin kukatakan padamu. Kaca mataku baru loh Nona, mirip dengan punyamu, dengan frame hitam tanpa silinder dan hanya tebal kacanya yg membedakan. Asal kamu tahu, Nona, aku telah mengikuti saran darimu. Kuambil celengan macan yg hampir beranak yg kusimpan di atas lamari pakaian. Banyak debu. Beruntung celengan macanku tidak jadi macan asia. Kubanting celengan itu dan uangnya kupergunakan untuk memesan kaca mata. Bukankah itu pesanmu dulu, Nona. Membeli barang dengan tabungan sendiri, dan hingga kini aku masih ingat.
Nona, saat kutilaskan ini ada yg ingin aku katakan. Aku kangen kamu, Nona. Aku kangen kita. Aku dan kamu. Aku tak bisa menahan rasa rindu yg kian hari kian berserakan di teras hati. Bahkan setiap pagi aku harus memungut rindu yg berserakan dan memasukannya ke dalam lubuk hati. Agar aku bisa menjadikannya bukti, bukti bahwa aku merindukanmu. Merindukan kita. Namun teringat dengan kepergianmu tempo waktu dengan mengingkari pertemuan kita, aku kini merasa rindu itu tak cukup bukti untuk kembali melanjutkan impian kita. Atau lebih tepatnya impianku.
Nona, seiring berjalannya waktu, percaya atau tidak percaya waktulah yg membuatmu berubah, membiat kita berubah, membuat semuanya berubah. Dan berharap kita akan menjadi orang yg lebih baik. Ini bukan inginku, dan aku juga tahu ini bukan inginmu. Tapi hidup adalah pilihan, Nona. Sebagaimana dalam realita kamu memilihku tapi hati hatimu untuknya, dan dalam kehidupanku akuc memilih orang untuk menghapus air mataku, memberi suntikan semangat untukku bahkan hatinya menjadi tempat berlindungku.
Nona, ini takdir kita. Aku dan kamu tak bisa lagi berlama-lama dalam bermain hati. Sebab aku takut, ini akan menyakiti hati yg lain.
Nona, aku mengaku kalah. Dan untuk kali ini aku pasrah, meskipun menyerah merupakan sebuah hal yg paling bodoh, dan dalam hal ini, itulah yg harus aku lakukan.
Nona, aku yakin kini kau tumbuh menjadi gadis yg beranjak dewasa, yg tak lagi menangis jika tinggal sendirian di rumah. Kau akan tumbuh dengan dunia barumu, tentang teman-teman barumu, nongkrongin kedai kopi hingga larut malam. Bukankah itu hal yg kamu benci, Nona, ketika aku melakukan hal yg serupa justru kamu lakukan sekarang.
Nona, anggap sajalah kita adalah sebuah doa untuk masa depan. Dimana dalam pencarian panjang ini aku berharap kita akan menemukan yg terbaik untuk diri kita masing-masing. Jika ini menyakitkan buatmu, anggaplah aku seseorang yg jahat. Tapi inilah jalan kita. Aku ingin kau bahagia bersama pilihanmu, tetapi aku pun berhak untuk bahagia atas kehidupanku.
Salam jauh untukmu, Nona...
#fiksi
Nona, saat kutilaskan ini ada yg ingin aku katakan. Aku kangen kamu, Nona. Aku kangen kita. Aku dan kamu. Aku tak bisa menahan rasa rindu yg kian hari kian berserakan di teras hati. Bahkan setiap pagi aku harus memungut rindu yg berserakan dan memasukannya ke dalam lubuk hati. Agar aku bisa menjadikannya bukti, bukti bahwa aku merindukanmu. Merindukan kita. Namun teringat dengan kepergianmu tempo waktu dengan mengingkari pertemuan kita, aku kini merasa rindu itu tak cukup bukti untuk kembali melanjutkan impian kita. Atau lebih tepatnya impianku.
Nona, seiring berjalannya waktu, percaya atau tidak percaya waktulah yg membuatmu berubah, membiat kita berubah, membuat semuanya berubah. Dan berharap kita akan menjadi orang yg lebih baik. Ini bukan inginku, dan aku juga tahu ini bukan inginmu. Tapi hidup adalah pilihan, Nona. Sebagaimana dalam realita kamu memilihku tapi hati hatimu untuknya, dan dalam kehidupanku akuc memilih orang untuk menghapus air mataku, memberi suntikan semangat untukku bahkan hatinya menjadi tempat berlindungku.
Nona, ini takdir kita. Aku dan kamu tak bisa lagi berlama-lama dalam bermain hati. Sebab aku takut, ini akan menyakiti hati yg lain.
Nona, aku mengaku kalah. Dan untuk kali ini aku pasrah, meskipun menyerah merupakan sebuah hal yg paling bodoh, dan dalam hal ini, itulah yg harus aku lakukan.
Nona, aku yakin kini kau tumbuh menjadi gadis yg beranjak dewasa, yg tak lagi menangis jika tinggal sendirian di rumah. Kau akan tumbuh dengan dunia barumu, tentang teman-teman barumu, nongkrongin kedai kopi hingga larut malam. Bukankah itu hal yg kamu benci, Nona, ketika aku melakukan hal yg serupa justru kamu lakukan sekarang.
Nona, anggap sajalah kita adalah sebuah doa untuk masa depan. Dimana dalam pencarian panjang ini aku berharap kita akan menemukan yg terbaik untuk diri kita masing-masing. Jika ini menyakitkan buatmu, anggaplah aku seseorang yg jahat. Tapi inilah jalan kita. Aku ingin kau bahagia bersama pilihanmu, tetapi aku pun berhak untuk bahagia atas kehidupanku.
Salam jauh untukmu, Nona...
#fiksi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar