Malam yang sunyi, tokek tak bersuara malam itu. Ketika
seharusnya mereka bernyanyi nyaring dan saling sahut-menyahut. Bintang-bintang
pun bersembunyi di balik awan mendung. seolah-olah bersembunyi malu pada
insan-insan yang sedang bercumbu di semak-semak. atau takut pada keheningan dan
kegelapan malam yang tak kunjung beranjak. Hingga jago-jago berkokok
membangunkan sang surya.
Begitupun sepertinya dengan Aryo yang sedari petang sudah bangun. Ia
masih terduduk termangu di atas kursi kayu yang lapuk nan reot, menggenggam dan
memandangi secarik kertas putih tanpa coretan. Nampaknya ada sebuah batu besar
yang mengganjal di hatinya, dan mengurung yang sebenar-benarnya Aryo dalam
palung jiwa yang paling pekat. Hingga sekumpulan bocah-bocah lewatpun
meneriakinya sinting. Namun lelaki krempeng itu
tak peduli, ia tak bergeming sedikitpun. Seolah telinganya sudah
tertutup rapat oleh gumpalan kapas yang biasanya digunakan untuk menutup
lubang-lubang pada mayat.
Ingat sekali aryo, dulu sekali. Saat burhan Bapaknya,
menggenggam halus tangannya yang masih mungil. yang ketika itu tengah memegang
selembar kertas putih tanpa coretan. Di sebuah teras rumah, sementara di
sampingnya Sukma yang tak lain adalah ibunya Aryo, sedang napeni (membersihkan
beras dari gabah yang tidak tergiling). Bapaknya yang legam itu mengajarinya
cara membuat pesawat kertas. kemudian dengan senyum yang membuncah ia
menerbangkan pesawat kertas itu dan ayahnya
berkata “besar nanti, kau harus jadi pilot, nang”
Itulah agaknya, gabungan aksara yang sampai sekarang
terus menghantui otaknya. sampai lama berselang setelah ia dengan beberapa
puluh ribu di genggaman, ia memberanikan diri berangkat ke tanah sebrang. Lalu
setelah beberapa bulan aksi nekatnya, ia hanya menjadi seorang tukang semir
sepatu.
Seperti itulah perjalanan hidup aryo. Sedari tadi
hanya melamun meratapi nasibnya yang tak beruntung, ia duduk termangu dengan
memandang selembar kertas dalam genggamannya. dan setelah beberapa lama, ia
mulai melipat-lipatnya dengan perlahan . Sehingga tanpa keajaiban, selembar
kertas itu sudah menjadi sebuah pesawat kecil. hampir mirip dengan yang pernah
dibuat bapaknya dulu.
Angin berhembus pelan dengan lirih. Gemerisik dedaunan
yang saling bergesekan, Seketika menciptakan irama paling duka. Yang seolah
sengaja diciptakan tuhan untuk mengiringi
kesedihan aryo. Bersamaan dengan itu, kemudian satu, dua hingga puluhan
bulir air matanya tumpah mengalir melewati pori-pori wajahnya.
“bapak, ibu, aku kepengen balik”, rangkaian kata
itulah yang tercetus di antara isak dan air matanya. Seolah semesta mengerti kerinduan yang sedang
dirasakan Aryo. Awan tiba-tiba menghitam, dan tak lama setelahnya langitpun
ikut menangis. Disertai dentuman dan cahaya yang saling sahut menyahut
menyambar bumi.
Di tengah rintik hujan yang pedih, air matanya
tersamarkan. Dan pesawat kertas yang digenggamnya basah, kemudian layu layaknya
kembang-kembang yang tak pernah disiram. Aryo semakin tertunduk, matanya
terpejam. Kedua tangannya terkepal dan bergetar. Ia merasakan sebuah getaran di
dalam dada, seperti sesuatu yang mencoba untuk keluar.
Ketika kilat semakin ganas menyambar, dan guyuran
hujan semakin menyakitkan. Aryo mendongakkan kepala. Memandang langit, lalu
membuka mulut sepenuhnya terbuka . Aryo berteriak sangat keras hingga suaranya
mengilang ditelan semilir.
Aryo tersungkur, mengalah pada hujan. Kini kepalanya
sejajar dengan tanah, matanya tepat berada di dekat tanah yang basah. Lalu
dinggenggamnya tanah dalam kepalan seraya ia berkata,
“Kapan kita membuat pesawat lagi?”, katanya dengan
nada yang keras. matanya sayup.
“Kapan? masih ingin aku jadi pilot? apa? mimpi?
maaf! aku rindu bapak. Aku sungguh ironi “, tukasnya. Dan hujan pun diam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar