Selasa, 07 Juni 2016

Gadis Pelipat Kertas


Panasnya matahari sungguh berasa membakar seluruh tubuh ini. Ditambah bisingnya suasana hiruk pikuk kendaran bermotor semakin menambah rasa kesal dalam hati.
Untuk yang kesekiankali aku bertemu gadis berjilbab itu di halte tempat biasa aku menunggu bis. Kali ini dia mengenakan jilbab paris berwarna biru dengan motif bunga-bunga. Sesekali kami saling memandang, bahkan melemparkan senyum dan saling sapa untuk memecah sebuah keheningan. meski telah beberapa kali aku menjumpainya di halte ini, namun aku belum tahu siapa namnya.
Dia yang hanya berjarak sepelemparan  tiba-tiba menatapku, “kenapa kamu kelihatannya tak bahagia, bahkan selalu terlihat tidak bahagia ketika aku melihatmu di sini? apa kamu tak suka dengan hari cerah tanpa awan?”
Aku mendengus. “Tak ada hubungannya.”
“Hmm atau jangan-jangan kamu tak suka dengan aku ada di sini”?
“Dari mana kamu dapat menyimpulkan seperti itu. Mana mungkin, kamu hanya seseorang yang kebetulan menunggu bis di tempat yang sama, tidak lebih.”
“Maaf,” katanya. “Aku hanya sekedar ingin tahu.”
Aku hanya sedikit menganggukan kepala.
Kami pun terdiam beberapa saat,  bis yang ditunggu tak kunjung datang.
“Eh, kamu punya kertas?” tanya gadis itu padaku.
Kuambilkan buku dari dalam tasku dan ku sobek satu lembar untuknya. Dia pun mulai melipat kertas itu dengan tersenyum.
“Aku selalu terkagum dengan hasil kertas yang dilipat,” katannya. “Dari kertas biasa bisa dibentuk menjadi apa saja tergantung bagaimana cara melipatnya, apakah manusia juga sama bisa seperti itu?”
“Beda,” singkat jawabku. “Tidak seperti kertas, diri kita tidak dibentuk oleh diri kita sendiri,  tapi banyak yang berperan. orang tua, keluarga, teman, lingkungan dan banyak lagi.”
Gadis itu tersenyum dan melipat kertas itu sekali lagi.
“Jika kamu bisa membentuk dirimu sendiri seperti kertas yang dilipat ini, apa yang ingin kamu buat?” tanya gadis itu padaku.
“Kebebasan,” kataku.
“Apa, kebebasan?” gadis itu menggernyitkan dahi.
“Benar, aku tidak peduli meski aku harus berakhir menjadi bentuk apapun, aku hanya ingin berhenti dipaksa menjadi sesuatu yang aku tidak ingin.”
“Orang tuamu?” tebak si gadis.
Aku tak menjawab, pun gadis itu sudah tahu jawabannya.
“Jadi kamu menunggu bis dari tadi hanya untuk ke tempat yang kamu tidak ingin datangi?”
“Ya,” tegas jawabku.
“Kamu tahu ke mana kamu hendak pergi?”
“Ya.”
Dia tersenyum.
“Lantas apa yang kamu tunggu?” dia menyodorkan padaku bunga dari kertas yang dia lipat. “Aku mungkin sudah melipat kertas ini. Tapi bukan berarti kamu tak bisa melipatnya lagi, bukan. kamu bisa saja melipat ulang sesukamu.”
Aku masih menatap serius bunga itu, bunga dari kertas yang dilipat oleh gadis yang sering aku temui di halte ini. Aku masih belum mengerti apa maksud gadis ini.
“Ya, tapi hasilnya akan jadi jelek dan akan terlihat ada bekas lipatan sebelumnya.”
“Apakah itu penting, apa bekas lipatan itu lebih penting daripada bentuk aslinya?” jawabnya dengan memandangku.
“Mungkin  tidak,” jawabku meragu.
“Ada banyak orang yang memengaruhi hidup kita, benar, tapi kamu juga salah satunya, kan? bahkan kamulah yang paling berpengarung dari siapa pun di dunia ini. Kamu selalu punya kendali atas hidupmu, kamu masih bebas menentukan pilihan.  Jika ini tetap berakhir seperti yang orang lain iniginkan, ini bukan karena kamu tak punya kendali , tetapi itu karena kamu  menyerah untuk berusaha.”
Aku menatapnya dan dia menatapku. Dia sekali lagi tersenyum.
sumber gambar google
“Aku berbicara besar, ya? maaf, sok tahu. Aku hanya ingin sedikit membantu menghilangkan ketidakbahagiaanmu.”
“Kenapa?” aku bertanya.
“Hmm.”
“Kenapa membantu?”
“Jika kamu tanya kenapa, hmm. Mungkin karena aku pembawa kebahagian!” jawabnya diiringi tawa ringan.
“Eh…?”
Dia tersenyum lebar dan beranjak meninggalkan halte tanpa sepatah kata pun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar